BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG MASALAH
Pada penghujung abad ke-20, negara-negara Asia Tenggara termasuk
di antaranya Indonesia mengalami krisis
dalam berbagai aspek kehidupan, baik politik, ekonomi dan sosial budaya. Secara
riil hal ini merupakan agenda baru yang menuntut seluruh pihak untuk ikut
memikirkan; kira-kira “apa dan bagaimana” terapi untuk memulihkan kembali
situasi nasional, minimal rakyat bisa survive untuk melakukan aktifitas
kesehariannya sesuai dengan spesialisasi masing-masing serta-merta hak-hak
mereka dapat dipenuhi.
Maka berangkat dari krisis, muncul sebuah pemikiran bahwa sudah
semestinya dilakukan upaya-upaya reformasi dalam bidang-bidang yang berhubungan
dengan hajat masyarakat luas, yang akhirnya dipelopori dengan lengsernya presiden
Soeharto dalam pemerintahan nasional. Demontrasi bergejolak di mana-mana,
menuntut secepatnya agar dilakukan reformasi.
Menurut kaca mata masyarakat akar rumput (grass root), reformasi
merupakan urat nadi stabilitas dan kesinambungan suatu negara. Maka
menunda-nunda reformasi, sama halnya dengan menunggu datangnya kerusakan dan
kehancuran. Intinya, reformasi merupakan kebutuhan primer di tengah-tengah
semilirnya angin krisis di berbagai bidang kehidupan.
Untuk itu, dalam rangka menyikapi kondisi obyektif yang bergulir
di tanah air, perlu sumbangsih pemikiran dan dialog konstruktif dari semua
kalangan, sehingga pluralisme yang ada mampu mengoptimalkan konsep
masing-masing, dengan catatan aspek kebersamaan dan upaya penyatuan barisan
menjadi acuan untuk merealisasikan apa yang dicita-citakan oleh masyarakat. Di
sini, umat Islam dituntut untuk berbuat lebih besar, sebagai penganut agama
rahmatan lil al-alamien supaya melahirkan sejuta konsep dalam mewujudkan
masyarakat sipil (civil society) yang mampu mengatasi gejala-gejala
dehumanisasi, seperti yang terjadi di tanah air baru-baru ini. Oleh karena itu,
perspektif Islam dalam reformasi melalui jendela-jendela sejarah sangat
mendesak untuk disampaikan.
Dalam hal ini ada dua maksud yang ingin disampaikan dalam tulisan
ini, Pertama, bahwa sudah semestinya kita mengetahui style reformasi dalam
sejarah perkembangan Islam. Karena dengan sejarah, kita akan termotivasi untuk
mencari kisi-kisi baru dalam reformasi, tentunya dengan melakukan studi
komparatif antara reformasi yang dilakukan pada zaman dahulu dengan reformasi
yang sedang kita perjuangkan. Kedua, timbulnya semangat baru untuk menciptakan
tatanan masyarakat ideal. Apabila umat Islam pada zaman dahulu dengan
kontemplasinya terhadap teks-teks keagamaan dan realitas mampu melakukan
reformasi, maka orang-orang yang hidup setelahnya -kini dan masa mendatang-
harus lebih baik dari mereka.
Dengan demikian, sasaran utama tulisan ini ingin mengajukan
visi-visi baru dalam konteks reformasi yang bersumber dari teks-teks keagamaan
dan sejauhmana umat Islam mampu memahami dan mengimplementasikan teks-teks
tersebut, sehingga mampu menciptakan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Hal
ini sangat penting dalam rangka meletakkan Islam sebagai agama yang subur
dengan nilai-nilai yang sudah barang tentu dituntut untuk berperan lebih besar
dalam memecahkan problematika kemanusiaan.
II. TUJUAN
Adapun tujuan kami membuat makalah ini sebagai berikut :
1.
Mengetahui makna reformasi dalam pandangan Islam
2.
Mengetahui paradigma reformasi dalam sejarah
3.
Memaknai kontribusi
garapan reformasi dalam konteks
keindonesiaan
BAB II
PEMBAHASAN
Dengan melakukan kajian mendalam terhadap
Al-Qur'an dan Hadits, akan didapati bahwa Islam mengakui adanya upaya perubahan
masyarakat dalam dua bentuk :
Pertama, cara "taghyir", yaitu
perubahan yang bersifat fundamental dan menyeluruh menuju masyarakat Islami.
Ini dilakukan bila keadaan masyarakat yang ada tidak Islami.
Kedua, cara "islah", yaitu
perubahan yang bersifat cabang dan parsial (sebahagian) untuk memperbaiki aspek
kehidupan tertentu yang mengalami kerosakan seperti aspek politik, sosial dan
ekonomi. Cara ini dilakukan dalam konteks masyarakat Islami, yakni ketika
masyarakat tadi hidup dalam konstitusi politik yang Islami yang dikenali dengan
Khilafah Islamiyah.
Taghyir mengharuskan adanya perubahan
mendasar yang dimulai dari asasnya. Sedangkan Islah merupakan bentuk perubahan
yang hanya menjangkau aspek cabang dalam diri individu, masyarakat atau negara.
Islah tidak menjangkau sampai ke-asas, karena asas yang ada sudah benar, tetapi
hanya perlu dibersihkan atau dikuatkan. Dalam skala mikro atau individu, dakwah
untuk mengubah orang kafir agar masuk Islam wajib menggunakan cara taghyir.
Sebab, asas pemikiran yang ada pada dirinya salah dan batil, maka kita wajib
menggantikannya dengan yang benar, yaitu Aqidah Islamiyah. Kita tidak langsung
mengajak
mereka salat sedangkan kita tetap membiarkan kekufuran menjadi landasan hidupnya.
mereka salat sedangkan kita tetap membiarkan kekufuran menjadi landasan hidupnya.
Perubahan yang dilakukan harus dimulai dari asas atau akarnya. Allah
menegaskan bahwa Dia tidak akan menerima amal orang kafir betapapun amalnya
dianggap baik oleh pelakunya, selagi amalnya tidak dibangun di atas dasar iman
yang dibawa oleh Islam :
"Dan Kami hadapi segala amal yang mereka (orang-orang kafir)
kerjakan. Lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan"
(QS. Al Furqan 25 : 23).
Rasulullah tidak mengajak orang kafir
melaksanakan hukum syara' (aspek cabang) kecuali beliau mulai terlebih dahulu
dengan ajakan untuk meyakini syahadatain sebagai landasan aqidahnya (aspek
asas). Seperti penegasan beliau ketika mengutus Mu'adz bin Jabbal RA ke Yaman :
"Sesungguhnya kamu akan mendatangi
kaum ahli kitab, maka ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang
patut disembah kecuali Allah. Kalau mereka memenuhi seruanmu ini,
beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan mereka untuk salat
lima kali sehari semalam" (HR. Bukhari dan Muslim)
Bila objek perubahannya merupakan individu
Muslim, yang kita gunakan adalah cara islah, sebab dia sudah meyakini Aqidah
Islamiyyah. Contohnya: masalah seorang Muslim yang bermuamalah dengan
riba harus diatasi misalnya dengan mengingatkannya akan azab Allah yang
pedih bagi siapa saja yang menyeleweng dari ajaran-Nya. Kita mengharapkan
imannya
akan kembali berfungsi aktif sehingga akan mendorongnya untuk mentaati Allah dan menjauhi maksiat. Ini dalam skala mikro atau individu. Cara perubahan dalam skala mikro di atas berlaku pula bagi perubahan skala makro, yakni kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Dalam masyarakat Islam, yang menjadi asas peraturan hidup bernegara sekaligus menjadi sumber konstitusi dan undang-undang adalah Aqidah Islamiyyah. Hal ini dapat dibuktikan dengan tiga argumen berikut :
akan kembali berfungsi aktif sehingga akan mendorongnya untuk mentaati Allah dan menjauhi maksiat. Ini dalam skala mikro atau individu. Cara perubahan dalam skala mikro di atas berlaku pula bagi perubahan skala makro, yakni kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Dalam masyarakat Islam, yang menjadi asas peraturan hidup bernegara sekaligus menjadi sumber konstitusi dan undang-undang adalah Aqidah Islamiyyah. Hal ini dapat dibuktikan dengan tiga argumen berikut :
Pertama, pada saat Rasulullah Saw. mendirikan
pemerintahan Islam di Madinah, sejak awal beliau mendirikannya atas dasar
Aqidah Islam. Hal ini terbukti dari fakta pada saat itu, dimana ayat-ayat yang
berhubungan dengan masalah hukum (tasyri') belum diturunkan. Tapi Rasulullah telah
menjadikan syahadah "La ilaha illallah" sebagai asas bagi pengaturan
dan penataan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Kedua, Rasulullah telah menetapkan kewajiban
jihad atas kaum Muslimin untuk menyebarkan Aqidah Islam : "Aku
diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka menyampaikan kesaksian
bahwa tidak ada ilah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Bila
mereka mengucapkan kesaksian itu, terpeliharalah harta dan darah mereka dariku kecuali
dengan alasan yang benar" (HR. Muslim). Hadis itu menunjukkan bahwa yang
diserukan pertama kali kepada suatu komuniti yang menjadi target dakwah adalah
Aqidah Islamiyah sebagai landasan kehidupan bernegara dalam masyarakat Islam.
Ketiga, Rasulullah telah memerintahkan kaum
Muslimin untuk mempertahankan posisi Aqidah Islamiyah sebagai landasan
kehidupan bernegara dalam masyarakat Islam dengan cara memerangi penguasanya,
apabila para penguasa itu menampakkan kekufuran secara terang-terangan (kufran
bawaahan). Diriwayatkan hadits dari sahabat Ubadah bin As Samit ra. yang
berkata tentang bai'ah kaum Muslimin kepada Rasulullah :
"Dan hendaklah kita tidak merampas kekuasaan dari yang berhak kecuali (sabda Rasulullah) bila kalian melihat kekufuran yang nyata yang kalian memiliki bukti (tentang kekufuran itu) dari sisi Allah" (HR. Bukhari dan Muslim; lihat Shahih Bukhari hadits No. 7056 dan Shahih Muslim hadits No. 1709)
Dari ketiga argumen itu dapat disimpulkan
bahwa Aqidah Islamiyah adalah asas negara dan sekaligus sumber konstitusi dan
undang-undang (lihat Taqyuddin An-Nabhani, Muqaddimah Dustur, hal 8). Dengan
yang demikian, perjuangan reformasi terlebih dahulu mewajibkan adanya pemahaman
fakta terhadap asas pemikiran yang menjadi sumber konstitusi dan perundangan
suatu negara. Bila konstitusi suatu negara didasarkan pada asas Aqidah
Islamiyah --yakni dengan menjadikannya sumber hukum dan peraturan kehidupan masyarakat-- maka kemunduran atau
penyimpangan yang terjadi harus diubah dengan cara Islah.
Sebagai contoh, pada
masa akhir Khilafah Islamiyah (abad ke-18 M) yang mengalami kemunduran dan
kemerosotan dalam berbagai bidang seperti kelemahan dalam pemikiran hukum
(tasyri') dan keterbelakangan dalam sains dan teknologi, Negara Khilafah
memerlukan perubahan dengan islah. Dalam keadaan tersebut tidak dibenarkan
rakyat melakukan langkah pemberontakan dan mengganggu kewibawaan negara, atau
berkomplot dengan kaum kafir Barat untuk menghancurkan institusi negara
(Khilafah). Itulah kesalahan sejarah yang pernah dilakukan oleh Sharif
Husein, wali (gubernur) Hijaz (di kemudian hari berubah menjadi Saudi Arabia)
saat itu, yang bekerja sama dengan Kolonialis Inggris. Begitu pula tidak dibenarkan
mengubah sistem politik negara dari struktur Khilafah menjadi Republik, seperti
yang dilakukan Mustafa Kamal At-Taturk. Ini tidak dibenarkan, karena reformasi
yang mereka lakukan adalah Taghyiir, padahal seharusnya cukup sebatas Islah.
Namun jika konstitusi suatu negara tidak
didasarkan pada asas Aqidah Islamiyah, yakni tidak menjadikan Al-Qur'an dan
As-Sunnah sebagai satu-satunya sumber konstitusi, maka negara tersebut berada
dalam kondisi yang tidak Islami. Jadi perubahan yang dilakukan mestilah dengan
reformasi total (Taghyiir), ertinya bersifat fundamental dan menyeluruh --yang
mencakup perubahan sistem politik secara menyeluruh, bukan reformasi parsial
atau cabang, semisal perbaikan beberapa perundangan yang menyangkut aspek politik, pendidikan atau ekonomi sahaja.
Reformasi adalah perubahan kepada yang lebih
baik. Antonim dari kata reformasi adalah deformasi. Oleh karena itu, gerakan
reformasi merupakan usaha-usaha yang dilakukan oleh sekelompok manusia untuk
memperbaiki praktek-praktek dehumanisasi dan amoral, seperti Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme (KKN) dalam pelbagai bidang kehidupan, sebagai upaya membangun
kehidupan yang lebih makmur dan sentosa.
Dalam perspektif pemikiran sosial barat,
ditemukan perbedaan antara reformasi dan revolusi. Revolusi menurutnya yaitu
perubahan secara total dan komprehensip, sedangkan reformasi adalah perubahan
secara parsial dan periferal. Di sini bisa dianalisa, bahwa pemikiran sosial
barat berusaha untuk menyempitkan konotasi reformasi. Tapi apabila dilihat dari
perspektif Islam, bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan yang mencolok antara
reformasi dan revolusi, baik dari aspek kedetailan perubahan yang dilakukan
maupun keluasan cakupannya. Hanya saja kita dapatkan sedikit perbedaan dalam
instrumen operasionalnya. Misalnya dalam skala mayoritas, revolusi identik
dengan menggunakan cara kekerasan, sedangkan reformasi tidak seperti itu. Namun
kendatipun demikian, kedua istilah tersebut mempunyai sasaran yang cukup
mendetail, total dan komprehensip, tidak parsial seperti yang didengungkan oleh
barat. Reformasi dalam Islam berjalan secara proses atau menurut B.J. Habibie
reformasi adalah proses evolusi yang dipercepat. Reformasi harus dimulai dari
manusia sebagai pelaku. Oleh karena itu sebelum melakukan perubahan yang total
dan detail dalam sebuah masyarakat, syarat utama yang perlu dilakukan yaitu
perubahan pada diri manusia.
Maka dari itu, ajaran-ajaran yang dibawa oleh
para Rasul disebut dengan panggilan-panggilan reformasi (Da'awat al-Ishlah)
yaitu upaya-upaya yang bertujuan untuk mewujudkan perubahan dari akar atau
realitas yang lebih optimal. Nabi Syu'aib menyatakan bahwa dakwah yang
disampaikan kepada penduduk Madyan hanya sebagai upaya reformasi (al-Ishlah).
Nabi Musa mewanti-wanti kepada nabi Harun as, sebagai khalifahnya agar
mentradisikan reformasi dan menjauhi jalan orang-orang yang berbuat kerusakan.
Ini artinya, bahwa sejak dahulu kala tabi'at manusia cenderung untuk melakukan
hal-hal yang tidak wajar, di luar batas kemanusiaannya. Sehingga tidak aneh
apabila kezaliman, kepongahan, kerusakan dan keangkuhan merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, Allah dengan
kekuasaanNya menurunkan nabi dan rasul untuk menjadi reformer yang di antara
tugasnya menebarkan benih-benih kebaikan dan menumpas kebatilan.
Dalam konteks reformasi yang menyeluruh,
al-Qur'an dan Hadis senantiasa mengajarkan kepada umat untuk mensosialisasikan
amar ma'ruf nahi munkar sebagai karakteristik umat alternatif. Allah berfirman,
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah”. Reformasi
yang disebut oleh teks-teks agama harus melibatkan seluruh lapisan masyarakat
-tanpa terkecuali kalangan elite, menengah maupun arus bawah- serta seluruh
aspek kehidupan, baik ekonomi, politik, sosial-budaya. Rasulullah bersabda,
“Kalau seandainya Fatimah mencuri, niscaya akan saya potong tangannya”.
Reformasi sejak zaman nabi tidak pandang bulu, baik itu sanak keluarga maupun
orang lain harus disamaratakan, berlandaskan keadilan dan kemaslahatan umum.
Karena menegakkan kebenaran dan menumpas kebatilan atau kemungkaran tidak
mengenal keturunan dan golongan tertentu (nepotisme). Dari diskripsi di atas
jelas bahwa Islam sebagai agama universal telah menggarisbawahi ajaran
reformasi sebagai salah satu tiang atau prasyarat dalam membangun sebuah
masyarakat ideal. Tanpa reformasi, negara yang utama niscaya tidak akan dapat
diwujudkan (al-Madinah al-Fadlilah).
Empat abad pertama dalam sejarah Islam
merupakan masa puncak kejayaan umat yang telah menorehkan tinta emas, baik
dalam bidang ilmu maupun peradaban secara umum. Menurut para sejarawan umat
Islam hampir mendirikan negara adikuasa. Ruang lingkup keilmuannya telah mampu
mengakumulasikan ilmu-ilmu India, Persia, Yunani dan Romawi, kemudian umat
melakukan upaya-upaya konvergensi dan melahirkan kreasi-kreasi baru. Sejarah
mencatat bahwa Baghdad, Mesir, Damaskus, Cordova merupakan basis peradaban yang
terbesar di dunia. Sehingga tak ayal apabila orang-orang barat datang
berbondong-bondong untuk mengambil ‘ibrah, mempelajari peradabannya dan
melakukan kodifikasi.
Namun kondisi tersebut tidak berjalan secara
linier. Pasca empat abad awal, umat dirundung kemunduran, kelemahan dan
keterbelakangan. Kekacauan yang melanda umat Islam membuka peluang bagi
orang-orang lain untuk melakukan ekspansi dan eksploitasi, sehingga datanglah
perang Salib yang mampu menyingkirkan Asia Kecil dan menguasai Yerussalem. Pada
abad ke XVII M. Mongolia mampu menguasai sebagian besar negara-negara Islam.
Maksud mereka bukan hanya sekedar imperealisme, tapi juga merusak peradaban,
ilmu dan seni yang berada di Baghdad. Pada akhir abad ke XVIII seorang
pelancong dari Prancis, Moseu Volney berkunjung ke Mesir dan tinggal di Syam
selama empat tahun, berkata, “Sesungguhnya kebodohan yang menimpa negara ini
cukup global, hal tersebut terlihat dalam seluruh aspek kebudayaan dan
produksinya, sehingga apabila jam tangan kamu rusak, maka kamu tidak menemukan
orang yang dapat memperbaikinya, kecuali hanya orang asing”.
Pada saat itu pemerintahan Mesir khawatir
untuk melegalisasikan belajar matematika dan fisika. Suatu ketika pemerintah
bertanya kepada Syaikh al-Azhar, Syaikh Muhammad al-Ambabi, “Apa hukumnya umat
Islam mempelajari ilmu-ilmu matematika dan ilmu pengetahuan lainnya?”, dengan
penuh hati-hati syaikh menjawab, “Sesungguhnya hal itu boleh-boleh saja dengan
syarat manfaat dan mempelajarinya harus diperjelas”. Jawaban ini bisa diinterpretasikan, bahwa ilmu-ilmu
tersebut seakan-akan bukan kreasi umat Islam.
Dengan ini, umat Islam berada pada posisi
yang termarjinalkan. Umat Islam tidak lagi berhubungan dengan Eropa,
sebagaimana dialog keilmuan yang masyhur pada pemerintahan Abbasiah, antara
Harun al-Rasyid dengan orang-orang Yunani.Umat Islam tidak lagi konsern dengan
ilmu pengetahuan, produksi dan sistim pemerintahan, tapi justru mereka konsern
dengan buku-buku fikih, nahwu dan sharaf an sich. Ilmu menurut umat Islam pada
saat itu hanya sekedar buku-buku keagamaan yang simbolistik, kalimat yang
diungkapkan, manuskrip yang dihafalkan, atau tulisan-tulisan yang diuraikan dan
diperjelas. Begitu halnya dalam hal politik, mereka hanya memahaminya sebagai
konflik yang berkepanjangan antara pemimpin. Setiap pemimpin mempunyai partai,
dan setiap partai mengintai kawasan rivalnya. Sehingga pemerintahan
diidentikkan dengan kepentingan pribadi, kezaliman dan kekerasan. Dan nampak
secara riil, umat Islam diibaratkan kakek tua yang keropos terhempas angin
peristiwa. Islam telah kehilangan wibawa dan eksistensinya, Islam dipahami
sebagai praktek-praktek formalitas, yang tidak sensitif dengan ruh kenyataan
dan kekinian. Keberhasilan dalam hidup bukan karena kesungguh-sungguhan dalam
bekerja, namun karena memohon dari kuburan dan minta tawassul dari para
wali-wali.
Berdasarkan kondisi obyektif umat Islam tersebut,
maka lahirlah para reformer berusaha untuk memperbaiki keterbelakangan dan
kekacauan yang dihadapi umat. Karena kalau tidak diambil sikap antisipatif,
maka umat akan semakin ketinggalan kereta peradaban, di mana barat telah
terlalu jauh meninggalkan kita. Dengan ilmu dan kebebasan, barat maju dalam hal
produksi dan mampu menemukan teori-teori baru, sehingga mampu melahirkan
peradaban serta merta melakukan tekanan-tekanan terhadap negara-negara
berkembang, yang mayoritas penduduknya adalah umat Islam. Untuk itu, reformasi
merupakan sebuah tuntutan.
a. Peran
Para Reformer dalam Memecahkan Problematika Umat.
“Manusia adalah makhluk yang bersejarah.”
Secara aksiomatis pernyataan ini bisa diterima akal, tanpa harus dijabarkan
lebih panjang. Manusia dengan dinamika yang bergonta-ganti dalam hidupnya telah
menyimpan pelbagai peristiwa/kejadian yang nota bene sarat dengan problematika.
Hal ini merupakan kandungan filosofis dari kehidupan, di dalamnya terdapat
kebaikan dan kejahatan. Maka untuk mengantisipasi hal tersebut, dalam sebuah
hadis disebutkan, bahwa setiap seratus tahun Allah Swt. akan mengutus orang
yang akan memperbarui agamanya.
Di sini, seorang reformer membawa tugas yang
berat untuk melakukan upaya-upaya perbaikan dalam lingkungan di mana ia hidup. Pertama,
risalah ketuhanan seperti yang diamanatkan oleh hadis tersebut, bahwa kejahatan
yang tergolong sebagai patologi sosial harus diberantaskan dalam kehidupan
bermasyarakat. Kedua, risalah kemanusiaan. Bahwa hak-hak asasi manusia
harus dijunjung tinggi untuk mewujudkan stabilitas hidup dan keadilan yang
hakiki. Karena selama kebebasan berpendapat, memilih, bersikap belum
teralisasikan, maka mustahil sebuah tatanan masyarakat bisa berjalan stabil dan
normal.
Untuk melihat peran reformer dalam sejarah
Islam, maka perlu disampaikan beberapa kontribusinya dalam menyikapi pelbagai
permasalahan yang bergulir dalam masyarakat. Dalam bidang politik, kita
mengenah istilah totaliter, otoritier dan diktator yaitu pemerintahan yang
mempunyai kekuasaan mutlak, terutama diperoleh melalui kekerasan atau dengan
cara yang tidak demokratis. Praktek yang semacam ini merupakan salah satu trik
penguasa yang berkembang dalam sejarah umat untuk merealisasikan kepentingan
pribadinya. Oleh karena itu al-Kawakibi ketika melihat gerak-gerik pemerintah
yang totalitarian dan diktator, serta tidak berpedoman kepada hukum dan
keinginan rakyat, ia langsung melakukan reformasi. Menurutnya pemerintah yang
diktator adalah lawan dari kebenaran dan kebebasan, bahkan justru membunuhnya.
Karakteristik dari kediktatoran seorang
pemimpim yaitu tidak menghendaki adanya ilmu. Karena ilmu adalah cahaya, sedang
pemimpin diktator menginginkan agar rakyatnya hidup dalam kegelapan. Dengan
kepongahan rakyatnya ia dengan bebas dan mudah dapat melaksanakan kekuasaannya.
Semakin bodoh sebuah masyarakat, semakin mudah penguasa diktator untuk merampas
harta mereka dan kemudian mensedekahkan sebagiannya saja kepada rakyat supaya
dikatakan dermawan. Pemerintahan diktator akan mempengaruhi terhadap ekonomi
sebuah negara, sehingga tidak aneh apabila krisis ekonomi dengan cepat menimpa
sebuah negara. Selain itu, pemerintah diktator berusaha untuk menghilangkan
nilai-nilai keutamaan yang hakiki dalam diri manusia dan menggantikannya dengan
kepentingan-kepentingan semu. Dalam hal ini, sistem yang digunakan dalam
pemerintahannya yaitu dimulai dari bawah ke atas(bottom up). Artinya tunduk
kepada atasan dan diktator kepada bawahan. Sehingga yang terjadi adalah berpacu
untuk menaikkan pangkat, bukan kebersamaan untuk mewujudkan masyarakat yang
adil dan makmur. Dengan demikian, pemerintahan otoriter dan diktator sama
sekali tidak menampakkan demokrasi dan keadilan sosial. Karena sistem
pemerintahannya dimotori oleh segelintir orang yaitu orang-orang yang mempunyai
visi dan gagasan yang sama.
Konsekuensi logis dari kediktatoran akan
merusak moral dan akhlak suatu masyarakat. Karena keutamaan dan kemanusiaan
sudah dipolesi dengan kepentingan sekelompok orang saja. Justru menurut
al-Kawakibi bahwa kediktatoran telah mencemarkan esensi akhlak, kemunafikan
menjadi politik, dan merubah keberanian serta kemuliaan seseorang menjadi
penakut dan kikir. Di samping itu kediktatoran akan melarang kemajuan suatu
kaum. Karenanya, pemerintah diktator senantiasa mengawasi rakyatnya supaya
tidak melebihi kekuasaanya atau bahkan iingin menguasai seluruh kekayaan yang
ada di bawah tampuk kepemimpinannya.
Melihat akses negatif dari kediktatoran tadi,
maka sebagai pendidikan politiknya para reformer dalam sejarah reformasi
berusaha untuk menghilangkan sistem ini dalam sebuah pemerintahan. Misalnya
al-Kawakibi ketika menghadapi ‘Arif Pasya yang diktator pada waktu itu, ia
menulis sebuah buku yang berjudul, thaba’i’ al-istibdad (tradisi-tradisi
kediktatoran). Begitu pula Muhammad Abduh sangat tidak menyetujui kediktatoran
pemerintah pada masanya. Secara naluriah, kedikatoran telah menyalahi
nilai-nilai kemanusiaan yang diciptakan untuk bermasyarakat, saling menghargai
dan saling membantu, tanpa ‘ada udang di balik batu’. Lebih dari itu, Islam dalam
pendidikan politiknya secara gamblang telah mengajarkan keadilan, persamaan hak
dan kemerdekaan.
Oleh karena itu, menurut Muhammad Abduh dalam
konsep al-Jami’ah al-Islamiyah mengutarakan, bahwa dalam Islam tidak ada
pemerintahan teokratis, namun justru berdiri atas dasar-dasar demokrasi yaitu
senantiasa memelihara kepentingan umum. Menurut Muhammad Abduh, dalam
berpolitik ada tiga hal yang harus diperhatikan yaitu kebebasan berpendapat,
kebebasan berbicara dan kebebasan memilih. Kebebasan berpendapat yang dimaksud
yaitu pendapat yang berdasarkan qiyas, sesuai dengan hikmah serta mempunyai
subtansi dan nilai kebenaran. Kebebasan berbicara yaitu pembicaraan yang
mempunyai tujuan baik dan tidak menyinggung perasaan, sedangkan yang dimaksud
dengan kebebasan memilih yaitu memilih untuk kemaslahatan banga dan negara.
Untuk mengejawantahkan hal tersebut,
al-Qur’an dengan tegas menyeru agar kediktatoran dihilangkan di permukaan bumi
dengan cara syura (bermusyawarah). Konsep syura dalam Islam adalah cukup demokratis,
karena aspirasi dapat disalurkan dengan jalan musyawarah dan pijakan
kebersamaan.
Dalam makna filosofis la ila ha illa Allah,
kita bisa memahami bahwa yang berhak untuk dianggap sebagai penguasa otoriter
hanya Allah Swt. saja. Semua makhluk harus tunduk atas kekuasaan dan
kehendakNya. Semua makhluk lemah di hadapanNya. Oleh karena itu selain Allah
Swt, semuanya egaliter berpredikat makhluk. Menurut, al-Kawakibi, kalimat ini
semakin hari semakin kering dan makna filosofisnya semakin ditinggalkan umat.
Barangkali inilah terapi teoritis yang dikembangkan oleh para reformer dalam
sejarah Islam, baik Ali Mubarak, Jamaluddin al-Afghani, Qasim Amien, Abdullah
al-Nadim dan lain-lain.
Dalam terapi praktisnya, para reformer
sepakat bahwa pendidikan dan pengajaran merupakan satunya-satunya jalan untuk
mencetak kader-kader yang peka terhadap fenomena sosial. Menurut Dr. Toha
Husein bahwa pendidikan dan pengajaran ibarat air dan udara, tidak bisa
dipisahkan dalam kehidupan manusia. Karena semakin dewasa cara berpikir sebuah
masyarakat, maka dialog konstruktif akan tercipta untuk mencapai cita-cita
negara, bukan sebaliknya seperti yang dikehendaki pemerintahan otoriter. Maka
dari itu Muhammad Abduh mengatakan, “Barang siapa yang menginginkan kemakmuran
sebuah negara, maka satu hal yang harus diupayakan yaitu profesionalisasi
pendidikan. Kalau hal ini dipenuhi, maka hal-hal yang diinginkan akan tercapai
tanpa mengeluarkan daya pikir dan daya otot yang melelahkan.”
b. Reformasi
dalam Bidang Pemikiran
Permasalahan serius yang dihadapi umat pada
saat ini yaitu krisis pemikiran kontemporer. Dalam konteks krisis pemikiran
kontemporer ada tiga hal; Pertama,umat dirundung lenyapnya kejelasan visi.
Kedua, umat nampak lemah. Kuantitas yang besar bagaikan buih yang mengalir tidak
membekas. Ketiga, umat dilanda kemiskinan dalam berkreasi, karena umat
cenderung untuk melihat secara individual dan antipati pada proyek peradaban.
Di sini dapat diambil benang merah, bahwa masalah keterbelakangan umat
disebabkan ulah mereka sendiri. Sehingga ijtihad di kalangan belum menjadi
bahasa verbal yang optimal. Munculnya pemikiran-pemikiran baru sangat minim,
karena toh walaupun ada, berusaha untuk dikafirkan, dikarenakan tidak
sependapat dengan pemikiran para ulama-ulama terdahulu. Atau ‘kebenaran’ sudah
dipolitisir oleh pemuka agama. Oleh karena itu, pada satu sisi Muhammad Abduh
melihat bahwa keterbelakangan umat, tidak bisa dipungkiri, ada faktor politis
yang diinginkan oleh para ulama dan penguasa.
Dalam hal ini untuk melakukan reformasi dalam
bidang pemikiran ada tiga langkah yang diajukan oleh Muhammad Abduh; Pertama,
membebaskan akal dari tali-tali taklid dan memahami agama sebagaimana salaf
selum terjadinya khilaf. Dan berusaha untuk kembali menelusuri sumber-sumber
pengetahuan yang orisinil sebagai upaya untuk mengoptimalkan akal manusia dalam
menyingkap rahasia-rahasia alam dan hikmah Tuhan di muka bumi dengan
menghormati hakekat yang mutlak serta merta mencari argumentasi di balik itu.
Kedua, membedakan antara hak negara untuk ditaati dan hak keadilan bagi rakyat.
Timbal balik antara arus atas dan arus bawah dalam rangka mereformasi pemikiran
sangat urgen. Dr. Zaki Naguib Mahmud melihat, bahwa peran arus atas
(pemerintah) dalam melendingkan kebebasan berpikir dan berpendapat sangat diperlukan.
Dalam kesempatan lain Muhammad Abduh berkata:
Puncak kesempurnaan agama terletak pada dua
hal penting. Pertama, kebebasan bersikap. Kedua, kebebasan berpikir. Apabila
dua hal di atas dipenuhi, sempurnalah seseorang untuk menjadi manusia. Hal inipun
akan memberikan dorongan untuk menyampaikan apa yang disediakan oleh Allah
sesuai dengan fitrah dan kemampuannya. Sebagian filsuf barat modern menyatakan,
“sesungguhnya perkembangan modernitas di Eropa berdiri tegak atas dasar ini.
Maka jiwa tidak akan sanggup untuk bekerja, akal tidak akan berfungsi sebagai
alat untuk menganalisa, setelah mengetahui banyak tentang apa yang ada dalam
dirinya, dan ia berhak untuk melakukan ikhtiar dengan kemampuan rasionya untuk
mencari kebenaran”. Pemahaman semacam ini ternyata belum sampai kepada generasi
kita kecuali pada abad 16 masehi. Mereka dengan tegas menyatakan, “Sesungguhnya
hal di atas merupakan cahaya yang terang menderang yang muncul dari para
pemikir muslim itu sendiri”.
Islam sama sekali tidak membenarkan sikap
para agamawan ketika mereka memperkosa hak para pemeluk agama untuk memahami
kitab-kitab samawi. Mereka ( para agamawan ) menggunakan hak monopolui dalam
hal ini, sehingga mereka menyepelekan beberapa pendapat yang datang dari
kalangan bawah. Di samping itu, mereka mengklaim, bahwa merekalah yang berhak
untuk menduduki kursi ‘suci’ tersebut. Maka teks-teks yang disuruh untuk
dipahami oleh pemeluk agama sangat minim. Itupun dengan satu catatan, mereka
(pemeluk agama) tidak boleh membahas secara detail sehingga keluar dari inti
pembahasan. Dengan sikap ekstrim, kemudian mereka larut oleh sikap para pemuka
agama serta merta tidak mencoba untuk memahami teks al-Qurân secara mendetail,
yaitu dengan menyatakan adanya keterbatasan kapabilitas pemahaman terhadap yang
ada dalam teks “syari’at dan Nubuwwât”. Antara pemuka agama dan pemeluk agama
memiliki sikap dan pandangan yang sama yang mempercayai adanya suara dan huruf
yang didengar. Mereka tidak mendapatkan hikmah dari turunnya kitab. Atau mereka
lebih banyak mendengarkan atau membaca apa yang ada dalam kitab saja daripada
merenungi isinya.
c. Reformasi
dalam penggunaan bahasa Arab, baik dalam bahasa-bahasa resmi maupun pers.
Di sini, Muhammad Abduh melihat bahwa untuk
memahami ajaran Islam yang orisinil perlu pengetahuan bahasa Arab yang baik.
Karena bahasa merupakan faktor pendukung dalam proses empati terhadap Islam.
Ketiga hal tersebut merupakan kunci-kunci
dasar untuk mengembalikan identitas umat yang senantiasa melahirkan
pemikiran-pemikiran fleksibel dan sesuai dengan tuntutan zaman. Bukankah
Muhammad Abduh pernah berkata, “Apabila terdapat pertentangan antara akal dan
teks, maka akal harus didahulukan dari pada teks”. Pernyataan ini tidak lain
hanya untuk menghidupkan kembali rasionalitas yang pernah jaya di empat abad
pertama dalam Islam. Pean untuk melakukan kreasi-kreasi baru sebenarnya
terdapat pada profile Rasulullah Saw. Nabi Muhammad Saw pada satu sisi sebagai
Rasulullah yang bertugas untuk menerima dan menyebarkan wahyu-wahyu kepada
umat, namun pada sisi lain Ia juga sebagai politikus yang mempunyai
ijtihad-ijtihad tersendiri dengan jalan musyawarah. Dengan demikian melahirkan pemikiran yang
sesuai dengan tuntutan kontemporer merupakan salah satu paket dari reformasi
yang semestinya diagendakan umat.
Upaya-upaya reformasi yang dilakukan di tanah
air sebenarnya sudah hampir pada kematangan. Karena sebagian lembaga, instansi
dan organisasi senantiasa mendiskusikan untuk memberikan sumbangsih pemikiran
dalam hal reformasi. Tapi alangkah baiknya apabila penulis ikut urun rembuk
dalam mengajukan beberapa tawaran dalam konteks reformasi, sehingga sebagai
kader bangsa bisa berbuat yang lebih maksimal dalam membangun Indonesia Baru.
Dalam hal ini dari tulisan di atas, penulis
mempunyai kontribusi garapan reformasi dalam konteks ke-Indonesia-an.
Pertama, bahwa dalam hal perbedaan seputar visi terhadap reformasi perlu
diadakan dialog dan purifikasi yang mengarah pada ke-Bhineka-an. Hal ini menurut
penulis belum berjalan secara optimal. Yang nampak di pelupuk mata, bahwa
gerakan reformasi masih bercampur baur dengan kepentingan-kepentingan golongan
tertentu, terlepas dari niat baik. Misalnya, pluralisme partai —yang menurut
data sudah mencapai 68 partai— mencerminkan pluralisme yang kurang aspiratif.
Yang perlu dipikirkan justru bagaimana mengakumulasikan aspirasi-aspirasi yang
datang dari pluralisme partai tadi.
Kedua, bahwa yang harus diprioritaskan dalam langkah reformasi yaitu
pemecahan terhadap masalah-masalah yang sangat mendesak. Artinya bentuk-bentuk
yang formalistik dan simbolistik hendaknya dinomerduakan. Sebab sekarang kita
sedang berpacu dengan waktu. Oleh karena itu, perlu penyatuan barisan untuk
saling mengkerucutkan pembahasan reformasi seputar masalah-masalah yang
krusial.
Ketiga, bahwa dalam masa reformasi ini sensitif memunculkan emosi dari
kalangan arus bawah. Maka dari itu, perlu diadakan pendewasaan pendidikan
politik. sehingga rakyat tidak terbawa emosi dikarenakan hal-hal yang sifatnya
sekunder dan lebih dari itu untuk menghindar dari disintegrasi.
Keempat, bahwa selain konsep-konsep yang brilian tentang reformasi, juga
dibutuhkan mental-mental pemimpin yang merakyat atau membumi di kalangan
masyarakat Indonesia. Sehingga visi tanggung jawab lebih didahulukan dari pada
visi individual dan kepentingan.
Dengan demikian, reformasi merupakan risalah
suci yang harus dimulai dari pribadi masing-masing dan kemudian meliputi
seluruh lapisan masyarakat. Pada intinya setiap kalangan harus menyadari
perlunya kebersamaan dalam hidup bermasyarakat.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Reformasi adalah perubahan kepada yang lebih
baik. Antonim dari kata reformasi adalah deformasi. Oleh karena itu, gerakan
reformasi merupakan usaha-usaha yang dilakukan oleh sekelompok manusia untuk
memperbaiki praktek-praktek dehumanisasi dan amoral, seperti Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme (KKN) dalam pelbagai bidang kehidupan, sebagai upaya membangun
kehidupan yang lebih makmur dan sentosa.
Ajaran-ajaran yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul
disebut dengan panggilan-panggilan reformasi (Da'awat al-Ishlah) yaitu
upaya-upaya yang bertujuan untuk mewujudkan perubahan dari akar atau realitas
yang lebih optimal. Allah dengan kekuasaan-Nya menurunkan nabi dan rasul untuk
menjadi reformer yang di antara tugasnya menebarkan benih-benih kebaikan dan
menumpas kebatilan.
Jadi, Islam menggarisbawahi ajaran reformasi
sebagai salah satu tiang atau prasyarat dalam membangun sebuah masyarakat yang
lebih ideal.
DAFTAR PUSTAKA
- http://mahazalimz.tripod.com/090799xh.html
- http://blog.umy.ac.id/suhe08/2011/12/14/reformasi-dalam-perspektif-islam
Share it to your friends..!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar